MENYIKAPI PERBEDAAN PENDAPAT



A. Hakikat Perbedaan (Ikhtilaf)
Khilaf berarti perbedaan, perselisihan, kontraversi, dan kontradiksi. Secara umum “khilaf” berarti perbedaan pendapat di antara para ulama dalam berbagai permasalahan, baik permasalahan agama maupun permasalahan lainnya.

 
Dalam fiqih Islam, khilaf (disebut juga ikhtilaf) adalah perbedaan pendapat ulama mengenai masalah-masalah fiqih yang tidak prinsipil. Perbedaan itu melahirkan mazhab-mazhab fiqih, seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, azh-Zhahiri, Zaidiah, dan Syi’ah. Perbedaan pendapat itu pun bahkan terjadi juga dalam satu mazhab.

Dalam studi hukum Islam, khilaf atau akhtilaf telah berkembang menjadi ilmu tersendiri, yaitu ilmu al-khilaf (ilmu perbedaan pendapat fiqih). Ilmu al-khilaf adalah ilmu tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan ijtihad. Terkadang ilmu ini juga membahas masalah-masalah praktis di kalangan para mujahid. Dalam perkembangan selanjutnya, ilmu khilaf disebut juga “al-fiqh al-muqaran” (fiqih perbandingan).[1]

Mungkin, untuk orang awam permasalahan ini agak membingungkan: mengapa harus terjadi perbedaan pendapat, mengapa dalam Islam ada berbagai mazhab padahal agama Islam adalah satu, syariatnya satu, dan sumbernya satu, yaitu wahyu Ilahi? Mengapa tidak satu mazhab saja sehingga umat Islam bisa berjalan dalam satu alur mazhab karena umat Islam adalah umat yang satu? Sampai-sampai ada yang berkeyakinan bahwa perbedaan mazhab-mazhab pada dasarnya adalah perbedaan syariat dan sumbernya, bahkan akidahnya. Semisal perbedaan yang terjadi di kalangan non-Islam, yaitu Kristen Ortodok, Katolik, dan Protestan.
Semua itu merupakan pandangan yang keliru. Sesungguhnya, perbedaan-perbedaan tadi bisa jadi justru memudahkan umat Islam, bahkan dalam kondisi-kondisi tertentu bisa menjadi rahmat dan kekayaan syariat, yang menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam. Hal itu disebabkan hakikat khilaf para ulama yang sebenarnya adalah dalam hal-hal furu’iyah dan ijtihad-ijtihad ilmiah, bukan dalam hal-hal yang prinsipil, semisal dasar-dasar agama dan akidah. Oleh karena itu, kita tidak mendengar dalam sejarah Islam bahwa perbedaan mazhab-mazhab fiqih di kalangan para ulama itu menjadikan persaudaraan dan persatuan di antara mereka pecah.[2]

Untuk itu ulama fiqih bersepakat bahwa perbedaan pendapat dalam hal ijtihad itu diperbolehkan, sejauh tidak menyebabkan terjadinya perpecahan dan rusaknya persaudaraan Islam. Dasarnya adalah sabda Rasulullah saw.,

“Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu perkara dan hasil ijtihadnya itu benar, maka dia mendapat dua pahala, dan apabila hasil ijtihadnya salah, maka dia mendapat satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim dari ‘Amr bin ‘Ash dan Abu Hurairah)


Hadits ini menjelaskan bahwa dalam berijtihad seseorang bisa benar bisa salah, tetapi orang yang salah pun tetap mendapat pahala atas ijtihad yang dilakukannya.
Sebenarnya, perbedaan seperti ini ditemukan pula di kalangan para sahabat ketika Rasulullah saw. masih hidup, di kalangan tabi`in dan juga pada masa generasi-generasi selanjutnya.

B. Perbedaan Pendapat Tentang Masalah Furu’iyah
Ketika Rasulullah saw. berwudhu, para sahabat menyaksikan cara Rasulullah saw. berwudhu dan kemudian berwudhu sesuai dengan yang mereka saksikan, tanpa mempermasalahkan bagian yang wajib dan yang sunah. Demikian pula halnya dengan shalat, haji, dan sebagainya. Rasulullah saw. tidak pernah menerangkan bahwa rukun wudhu itu ada enam atau empat, atau menjelaskan bahwa berwudhu itu harus berurutan, sementara para sahabat juga jarang bertanya tentang masalah-masalah demikian.
 
Jikapun ada di antara sahabat yang bertanya tentang sesuatu, maka saat itu pula Rasulullah saw. memberikan fatwa. Kalau beliau melihat sahabat melakukan perbuatan baik, beliau akan memujinya dan sebaliknya, bila melihat sahabat melakukan kemungkaran, beliau akan menegaskan kesalahannya. Semua yang difatwakan, dipuji, dan disalahkan kala itu tidak dicatat, tetapi beritanya tersebar di kalangan masyarakat Islam.
Oleh karena itu, Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. (573-634 Masehi) dan Umar bin Khaththab r.a. (581-644 Masehi), 

apabila tidak mengetahui dasar hadits sebuah masalah, maka akan bertanya kepada anggota masyarakat mengenai hal itu. Misalnya, ketika Abu Bakar tidak mengetahui hadits yang berkenaan dengan hak waris yang harus diberikan kepada seorang nenek, ia menanyakannya kepada para sahabat. Al-Mughirah kemudian menjawab, “Rasulullah memberinya seperenam.” Lalu, Muhammad bin Maslamah berkata, “Dia (Mughirah) benar.” Maka Abu Bakar memberikan kepada nenek yang bersangkutan hak waris seperenam (HR Malik, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan ad-Darimi).

Akan tetapi, setelah umat Islam tersebar ke berbagai wilayah yang berjauhan, para sahabat yang mengetahui banyak hadits Rasulullah saw. pun berpencar ke berbagai wilayah. Umat Islam pada masa sesudah itu  (generasi at-Tabi`in) sudah berkembang menjadi berbagai bangsa dengan adat dan latar belakang yang berbeda-beda. Peristiwa yang terjadi semakin banyak dan beragam pula. Ketika itu, para sahabat yang berpencar di berbagai daerah menjadi tumpuan harapan untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka. Maka, para sahabat mengeluarkan fatwa mereka masing-masing, baik berdasarkan Al-Qur`an, hadits yang mereka hafal, ataupun berdasarkan hasil kesimpulan mereka sebatas pengetahuan mengenai hadits-hadits Rasulullah saw.. Jika mereka tidak hafal suatu hadits, mereka melakukan ijtihad. Namun, bagaimana pun juga, di antara mereka masih tetap terjadi perbedaan-perbedaan.[3]


C. Perbedaan Pendapat Di Kalangan Sahabat
Perbedaan pendapat sudah terjadi sejak zaman sahabat, bahkan sejak Rasulullah saw. masih hidup. Contohnya, perbedaan pendapat mengenai penebangan pohon kurma milik musuh dalam peperangan. Perbedaan seperti itu bahkan diabadikan dalam Al-Qur`an, tepatnya pada surah al-Hasyr ayat 5. Dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan bahwa sikap para sahabat yang menjadi tentara Islam adalah benar sesuai dengan pertimbangan politiknya masing-masing: ada yang menebang pohon kurma milik musuh, ada yang membiarkannya tetap tumbuh.

Mengapa bisa terjadi perbedaan di antara mereka? Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya adalah sebagai berikut.
  1. Seorang sahabat mendengar ketentuan hukum atau sebuah fatwa dari Rasulullah saw., tetapi sahabat lain tidak mendengarnya, yang kemudian membuat mereka berijtihad.
  2. Para sahabat menyaksikan Rasulullah saw. melakukan suatu tindakan. Sebagian mereka menganggap itu adalah ibadah, sebagian lain menganggap itu bukan ibadah (amalan biasa yang hukumnya dibolehkan). Misalnya, tindakan Rasulullah saw. tatkala menunaikan ibadah haji. Saat meninggalkan Mina, beliau singgah di al-Abtah, sebuah tempat antara Mina dan Mekah. Abu Hurairah dan Ibnu Umar berpendapat bahwa tindakan Rasululah saw. tersebut adalah bagian dari ibadah sehingga dimasukkan dalam manasik haji. Adapun Aisyah dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa hal itu tidak termasuk dalam sunah (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasaa`i, dan Ibnu Majah).
  3. Adanya perbedaan persepsi di antara para sahabat. Misalnya, Rasulullah saw. menunaikan ibadah haji dan para sahabat menyaksikan cara berhaji Rasulullah saw. itu. Sebagian di antara mereka menyangka bahwa itu adalah haji tamattu’ (umrah terlebih dulu, kemudian baru berhaji dalam satu waktu). Sebagian yang lain mengira itu adalah haji ifrad (umrah lebih dulu lalu berhaji dalam waktu yang berlainan).
  4. Adanya perbedaan karena lupa. Misalnya, berkaitan dengan umrah Rasulullah saw., Ibnu Umar berkata, “Rasulullah saw. melakukan umrah pada bulan Rajab. Kemudian Aisyah mendengar ucapan Ibnu Umar tadi dan mengatakan bahwa Ibnu Umar lupa.
  5. Perbedaan sahabat karena tingkat kecerdasan dan kekuatan hafalan. Misalnya, seperti yang diriwayatkan Ibnu Umar dari Rasulullah saw. bahwa mayat diazab karena keluarganya menangisinya. Mendengar kabar ini, Aisyah menegaskan bahwa Ibnu Umar salah memahami maksud hadits teresebut berdasarkan hadits berikut ini.
    “Rasulullah melewati kuburan seorang wanita Yahudi yang sedang ditangisi oleh keluarganya. Melihat peristiwa itu Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya, mereka menangisi seorang wanita dalam kuburan itu. Sesungguhnya, wanita itu sedang diazab di dalam kuburnya.’ “
    Dalam hadits lain yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, dari Aisyah disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda, “Mereka itu menangis, sedang mayat itu sedang disiksa di dalam kuburnya.”

    Ibnu Umar mengira bahwa azab itu diturunkan karena tangisan dan ia juga mengira bahwa hukum itu berlaku bagi setiap mayat.
  6. Perbedaan sahabat dalam menentukan ‘ilat (sebab) suatu hukum. Misalnya, ‘ilat tentang perintah berdiri ketika jenazah lewat. Sebagian mereka berpendapat, ‘ilat-nya adalah untuk menghormati malaikat. Sebagian lagi berpendapat, ‘ilat dilakukan karena maut yang menakutkan. Oleh karenanya, perintah untuk berdiri ketika jenazah lewat berlaku umum, tanpa membedakan jenazah mukmin atau kafir. Sebagian lagi berpendapat bahwa ketika jenazah orang Yahudi lewat di hadapan Rasulullah saw, beliau berdiri karena tidak senang jenazah itu berada di atas kepalanya. Oleh karena itu, kelompok ini hanya mengkhususkan perintah berdiri kepada jenazah orang kafir saja.[4]
  7. Perbedaan arti dalam kalimat-kalimat bahasa Arab yang terdapat dalam nash-nash Al-Qur`an, seperti:
    a.
    Perbedaan dalam memahami satu kata yang memiliki dua pengertian. Misalnya, kata  ( القرء ) dalam ayat berikut. “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`…. (al-Baqarah: 228)
    Kata “quru” memiliki dua makna, yaitu haid dan suci.

    b. Perbedaan dalam memahami dua ayat yang berbeda kandungannya tentang suatu masalah. Contohnya dalam masalah idah. Bagi wanita yang ditinggal wafat suaminya, idahnya adalah 4 bulan 10 hari (al-Baqarah: 234) dan bagi wanita hamil yang ditalak suaminya, idahnya adalah sampai ia melahirkan (ath-Thalaaq: 4). Masalahnya muncul bagi wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya. Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa idahnya adalah 4 bulan 10 hari meskipun pada waktu itu ia belum melahirkan. Ada pula yang berpendapat bahwa idahnya adalah sampai ia melahirkan meskipun ia sudah melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari.[5]
D. Perbedaan Pendapat Di Kalangan Tabi`In
Akibat perbedaan pendapat di kalangan sahabat tadi, muncullah beberapa aliran di kalangan para sahabat. Generasi tabi`in memanfaatkan pendapat para sahabat itu sebagai rujukan untuk menetapkan suatu hukum di samping Al-Qur`an dan sunah. Perbedaan-perbedaan di kalangan para sahabat itu, oleh para tabi`in, diperbandingkan, ditarjih lalu diambil yang lebih mudah dan lebih benar. Karena jumlah ulama tabi`in juga banyak, di kalangan mereka pun kemudian muncul perbedaan-perbedaan sehingga setiap ulama besar tabi`in melahirkan mazhab-nya sendiri. Dan di setiap negeri terdapat ulama tabi`in, seperti:
  1. di Madinah: Sa’id bin al-Mussayib (15-94 Hijriah), Salim bin Abdullah bin Umar, az-Zuhri, Yahya bin Sa’id dan Rabi’ah bin Abdurrahman;
  2. di Mekah: Atha’ bin Abi Rabbah (27 – 114 Hijriah);
  3. di Kufah: Ghiyas bin Ibrahim an-Nakhai dan Amir bin Syahril asy-Sya’bi (17 – 104 Hijriah);
  4. di Basrah: al-Hasan al-Basri (21 – 110 Hijriah);
  5. di Yaman: Thawus bin Kisan (wafat 106 Hijriah); dan
  6. di Syam (Suriah): Makhul bin Abu Muslim (wafat 113 Hijriah).
Mereka kemudian menjadi rujukan ulama berikutnya dalam bidang hukum Islam. Kepada merekalah masyarakat meminta fatwa dan meriwayatkan hadits serta fatwa sahabat. Sampai-sampai persoalan-persoalan peradilan pun diserahkan kepada mereka.[6]

E. Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama-ulama Fiqih

Kebangkitan ilmu fiqih terjadi setelah berlalunya masa tabi`in. Ulama pada waktu itu berusaha mengumpulkan dan mencatat hadits-hadits yang tersebar di berbagai negeri Islam, terutama yang berkenaan dengan persoalan-persoalan yang sering dihadapi oleh umat. Mereka ini kemudian menjadi ulama besar dalam masyarakat dan diserahi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan hukum Islam, seperti fatwa, periwayatan hadits, peradilan,  dan pengajaran. Wilayah Islam pada masa generasi ini bertambah luas sehingga permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakatnya pun semakin banyak dan kompleks. Banyak persoalan baru membutuhkan jawaban hukum yang tidak ditemukan pada zaman-zaman sebelumnya.  Maka, mereka harus berijtihad dalam menentukan hukum-hukumnya.[7] Dalam hal ini lah mereka akhirnya berbeda pendapat.


Sebab-sebab Ikhtilaf
Adapun hal-hal yang mengakibatkan perbedaan pendapat di antara mereka adalah sebagai berikut.

Perbedaan dalam memahami kata-kata bahasa Arab
Hal itu disebabkan seluk-beluk dan gaya bahasa Arab yang tidak dimiliki oleh bahasa-bahasa lain. Misalnya, kata yang “mujmal”, “musytarak”, “haqiqah”, “majaz” dan lain-lain. Termasuk dalam hal ini pula kata yang bergaya bahasa “ikhbar” (pemberitahuan): apakah berarti sekadar pemberitahuan atau mempunyai arti perintah. Contohnya firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 233. Allah mengatakan, “Dan para ibu itu menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh.” Maksud ayat ini sekadar pemberitahuan bahwa seorang ibu menyusui anaknya selama dua tahun ataukah perintah wajib bahwa seorang ibu harus menyusui anaknya selama dua tahun. 
 
Perbedaan riwayat hadits
Hal itu dikarenakan adanya hadits yang dalam permasalahan tertentu sampai ke salah seorang ulama sehingga ia mendapatkan dalil mengenai hal tersebut. Akan tetapi, hadits tersebut tidak sampai kepada ulama lain sehingga ia tidak mempunyai dalil dan informasi tentang hukum permasalahan tersebut. Bisa juga karena hadits itu sampai kepada salah satu ulama dengan jalur lemah sehingga ia tidak menggunakan hadits tersebut sebagai dalil atau ketentuan hukum, sementara ulama lain mendapatkan hadits tersebut melalui jalur yang kuat sehingga menjadikan hadits tersebut sebagai dalil dan ketentuan hukum.

 
Perbedaan penggunaan sumber hukum
Ada beberapa sumber hukum yang keabsahannya diperselisihkan para ulama sebagai sumber hukum atau dalil. Misalnya, al-istihsan, al-musalahah al-murasalah, al-istishab, al-urf, mazhab sahabat, syariat lama, dan lain-lain.

 
Perbedaan dalam penggunaan kaidah-kaidah Usul Fiqih
Sebagian ulama ada yang menerima kaidah usul fiqih tertentu, sebagian lagi ada yang tidak menerimanya. Misalnya, kaidah “dalil umum yang dikhususkan tidak bisa dijadikan dalil”, “mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik) tidak bisa dijadikan dalil”.

 
Ijtihad dengan qiyas.
Ini adalah sebab perbedaan yang paling besar.

Adanya kontradiksi antara beberapa dalil dan metode pentarjihannya (memenangkan salah satu dari lainnya).
 
Bagian inilah yang paling banyak mendatangkan berbagai pandangan dan perdebatan karena masalah ini menyangkut penentuan takwil, penentuan sebab, penggabungan beberapa dalil atau penghapusan hukum salah satunya. Munculnya kontradiksi dalam pemahaman seperti ini bisa terjadi antara nash-nash dalil yang ada atau antara qiyas yang satu dengan qiyas yang lainnya. Kontradiksi seperti ini bisa ter-elimininasi dengan beberapa sebab, diantaranya adalah pendekatan hukum dengan pemahaman maqasid al-syariyah (tendensi-tendensi hukum syariat).[8]


F. Etika dalam Perbedaan Pendapat
Dalam sejarah Islam, persoalah khilafiah terjadi terutama dalam masalah fiqih. Persoalan ini sering menyebabkan hal-hal yang tidak diinginkan. Apabila hal ini tetap terjadi, maka perbedaan pendapat menjadi tercela. Pedoman yang harus dipegang dalam hal ini adalah firman Allah SWT,

“…janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah….” (al-Anfaal: 46)

Agar hal itu tidak terjadi, umat Islam harus memperhatikan beberapa etika dalam menghadapi perbedaan pendapat, di antaranya adalah:
  1. Kaum muslimin harus menghormati orang yang melakukan ijtihad, meskipun hasil ijtihadnya itu tidak cocok dengan sikapnya atau salah. Sebab, dengan ijtihad itu seorang mujtahid telah mendapatkan pahala dari Allah SWT;
  2. Kaum muslimin dalam menghadapi perbedaan pendapat hendaknya dengan lapang dada dan tidak menyalahkan orang lain;
  3. Kaum muslimin harus bersikap ikhlas dan berniat bahwa yang dituju dari semuanya ini adalah kebenaran;
  4. Kaum muslimin hendaknya mengembangkan sikap toleran dalam masalah-masalah khilafiah terhadap golongan lain yang berbeda pendapat dengan mereka;
  5. Kaum muslimin tidaklah pantas menjadikan perbedaan pendapat dalam bid’ah fiqih menjadi persoalan yang diperdebatkan terus-menerus sehingga menjadikan perbedaan dalam hal-hal yang lainnya;
  6. Kaum muslimin tidak boleh terlalu fanatik dengan pendapatnya karena perbedaan dalam masalah fiqih. Sebab, fanatisme itu sendiri dapat menyebabkan tertutupnya mata dari kebenaran; dan
  7. Kaum muslimin apabila memberi komentar atau mengkritik pendapat orang lain hendaklah berharap dan berprasangka baik serta berkata-kata dengan sopan dan tidak melukai perasaaan orang lain.[9

sumber :  http://almanar.co.id/takiyatun-nafs/menyikapi-perbedaan-pendapat.html